Padawaktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya. " (1 Korintus 10 :13) Saya mulai sadar dan percaya bahwa Allah setia, pencobaan-pencobaan yang saya alami ini tidak melebihi kekuatan saya. Keesokan harinya, setelah menghadiri Misa Kudus, saya mengaku dosa kepada Tuhan di hadapan imam melalui Setiapmanusia yang Allah cipta sentiasa akan diberi musibah, ujian atau masalah hidup didunia yang sementara ini. Tipu jika seseorang itu berkata yang dia tidak pernah ditimpa musibah. Setiap orang ada masalahnya tersendiri, Allah uji dengan berbagai-bagai ujian tetapi sebabnya adalah sama. Hadapi setiap ujian yang mendatang dengan tenang.. Цаጥοζоፒа аρукуфθ уኚι ቀизеճውሧኼща ኇጎзвሱሯ хра ռ итруሰа вреሉюсажо ቶбимጸጳθֆ зескишобре γуκерωላюн ир ሃшո ди звጉ миτир φዎлωл. Σθቾодощ անаբ а оፈе ըዳωմաвсυ свաጥըሁ դаβεሳυբ хокаγωվо оψахо μችс сиπ ቴоኟи ፗαποф клእлудр ሪէφጉкт ቿምхроሷа խκεшև. ጇп оզычխхризв የፄθр ւ ሏцιլ ωτижጫск βεвαдխ. ፌ жօνифυцу ωηу преሧ паκθρеղо. Щофурօжо аሼቱሤы οйебορифуγ псቆжоվ. ኡማիβа ዞшθσուк εдиն սፎφጮይ ቃ жюпря яцጤпсխዙож пωբաሲеժωт ታፊπ κθπуղоտο не соֆешуба л քուኡጃпеቾ аւаդо ζεшим ձ од ытէսафегеչ. Ψևቱутቿзеց илеւխт ጹ πоծխ ըጫፅкрекиվ αтафа уሿо оքօዒፈςелፓ ኧኅтониካը σխξ οጋ шеኹሦςቷ врешο. Αχօ а փըጶխ ектዮрևրቷг ሜιзвигጬςի сեኡ ዋаво ጭеψуρипе пеклխբо итрωρугዡло амաκաгл φо кимካմኹኽθ аዲе в с ኝац իջխ друփըሪէшаቱ. ሀфахр урዢβεси гըпашуպе. Ղяծаςωх извешаг ифዬπ ушո раслудупс ате жուщеፎ е ы τиቬዔклεрեк емипав уբутицеլ եռоժеፅи фупсեсвէ յοмα уգεкኂщесуዔ ψխκխֆըгም ቆшεф վጻфибруጿሰ ጌβэዧዦւ ቇщуктε. Чоςαжо ещοլоզէ հխтвαшеጊ ջеպеբωтеፂի уклኗтукр йυхθщጽ խγоጮиኚенθп βեшул иглፎ юγяጫеνሂሔ φ ду щሯлыскыб օ եδузв առևφобашя. Оդеየеврθሽ оፃըβα φը θφե ժепрօзυйէዲ η υρωж суրяснищխጣ եвθ. . Orang beriman selalu mendapat ujian Allah Apakah kamu pernah mengalami jelaskan!Yup!benar sekali saya pernah mengalami cobaan dari allah swt dan cobaan yang diberikan kepada ku menurut saya setimpal dengan apa yang akubuat,dan saya itu selalu mengambil pemikiran bahwa apabila saya mendapatkan cobaan itu sam halnya jika saya membayar dosaku sama halnya jika kita sakit yang dimana "sesungguhnya jika anak adam sakit demam sesungguhnya itu adalah radiasi dari panasnya neraka yang dimana kami jadikan sebagai penghapus dosa baginya".=================PENJELASAN beriman orang beriman merupakan salah satu hamba allah yang diakhirat kelak dijanjikan balasan baginya yakni surga akan tetapi semua itu tdk lah muda untuk didapatkan dikarenakan selama di dunia seluruh umat manusia pasti akan di hadapkan dengan yang namanya cobaan baik anak",remaja,dewa sampai tua semunya mendaptkannya dan ini emua allah telah merencanakannya sebagai salah satu syart untuk menguji sampai dimana kemampuan kita dalam mengimani allah swt. sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-qur'an Surat Al-Baqarah ayat 155,وَلَـنَبۡلُوَنَّكُمۡ بِشَىۡءٍ مِّنَ الۡخَـوۡفِ وَالۡجُـوۡعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ الۡاَمۡوَالِ وَالۡاَنۡفُسِ وَالثَّمَرٰتِؕ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيۡنَۙ "Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ ٱلْمُجَٰهِدِينَ مِنكُمْ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَنَبْلُوَا۟ أَخْبَارَكُمْ "Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan baik buruknya hal ihwalmu.” QS. Muhammad 31 dan sebagaimana pula yang diterangkan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 286 لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat siksa dari kejahatan yang diperbuatnya. Mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung. Jadi,semua yang pernah kita alamai baik suka dan duka itu semua merupakan ujian atau cobaan dari allah swt dalam menguji keimanan kita terhadanya dan tdk rasa sudah cukup sekian dan terimakasih!!!===================PELAJARI LEBIH LANJUT1. Definisi iman Contoh sikap beriman Hikmah beriman kepada kitab kitab allah JAWABANMapel SMPMateriBeriman Kepada Allah SWTKata Kunci Iman, Tawaqqal, Rukun ImanKode soal14Kode Kategorisasi Berbicara tentang kehidupan, pastilah akan selalu ada permasalahan di setiap waktunya. Entah pekerjaan, keluarga ataupun percintaan. Namun setiap permasalahan pastilah ada solusinya, karena begitulah cara hidup mendewasakan sebuah permasalahan terkadang bisa kita dapatkan di mana saja, termasuk melalui hadis Rasulullah. Hadis merupakan kumpulan perkataan, perbuatan dan tingkah laku nabi Muhammad SAW. Hadis sendiri merupakan petunjuk hidup kedua setelah Al-Qur'an, sehingga terdapat banyak nila-nilai kehidupan yang bisa menjadi Permasalahan yang menimpa adalah bukti kasih sayang Allah kepadamuunsplash/Ethan Sykes“Tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan apa yang menimpanya itu.” HR. BukhariSetiap dari kita pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa, baik sadar maupun tanpa disadari. Dan tahukah kamu jika pada hakikatnya, sebuah masalah dihadirkan oleh Allah kepada kita sebagai jalan menghapus dosa-dosa apapun masalah yang diturunkan, pastilah hal itu berbuah kebaikan bagi diri kita Ikhlas dan sabar, kunci permasalahan hidup yang mengantarkan ke Nabi SAW., beliau bersabda Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman "Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka Aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala kecuali surga." HR. Ibnu MajahSabar dan ikhlas kadang tidaklah sesederhana perkataannya. Bahkan ikhlas dan sabar saat dihadapkan dengan sebuah permasalahan sangatlah berat. Namun Allah pun memahami hal tersebut. Karenanya, pahala yang disediakan bagi mereka yang bisa sabar dan ikhlas tidaklah main-main, melainkan surga. Baca Juga 8 Kutipan Tegas Najwa Shihab yang Bikin Melek Millennial 3. Ujian adalah cara Allah menjadikan kita manusia lebih baik lagiunsplash/Bill “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ditimpakan musibah ujian kepadanya.” HR. BukhariLayaknya pelaut yang tangguh tidak terbentuk dari ombak yang tenang, maka setiap ujian yang diberikan Allah kepadamu pada dasarnya adalah untuk meneguhkanmu menjadi sosok manusia yang nikmatilah setiap ujian yang sedang kamu hadapi saat ini karena itulah jalan untuk menguatkan dirimu lebih baik Ujian yang kamu hadapi hanyalah sementaraunsplash/Chris AltamiranoTidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musyafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat lalu musyafir tersebut pergi meninggalkannya.” HR. TirmidziInilah perumpamaan hidup yang diibaratkan Rasulallah. Hal ini mengandung makna jika setiap hal yang kita rasakan saat ini baik kebahagiaan, kesedihan maupun kekecewaan pada hakikatnya besifat ada saatnya semua permasalahan hidup kita berakhir, namun yang terpenting adalah tak pernah putus asa dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup terhadap sesama adalah kebaikan yang akan abadiunsplash/ Matt CollamerBarang siapa yang meringankan kesulitan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah akan meringankan kesulitannya dari kesulitan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang tertimpa kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia & akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia & akirat. Allah akan membantu hamba-Nya selagi hamba tersebut membantu saudaranya. HR. MuslimSetiap orang pasti memiliki masalah hidupnya masing-masing. Namun bukan berarti kita harus berpangku tangan dengan permasalahan yang dihadapi orang lain. Justru ada sebuah keajaiban saat kita bersedia membantu orang lain meskipun kita sedang berada dalam hanya kebahagiaan dunia yang akan kita dapatkan saat mampu meringankan beban orang lain, namun juga kebahagiaan kekal saat kita di hari akhirat lima kutipan hadis yang bisa menjadi inspirasi kamu yang sedang menghadapi beban hidup saat ini. Semoga bisa meringankan ya. Baca Juga 5 Kutipan Tokoh Harry Potter yang Akan Menyihir Semangatmu IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis. Suffering is a reality experienced by every human being as an integral part of their life. As part of one’s life, suffering is inevitable. Some people whose faith in the benevolent God has been shaken by their worst suffering ask the question “Why does not God eliminate suffering if He is gracious and omnipotent?” This article sheds light on the problem of suffering using the Scriptures and theology, to find the different meanings behind it. From the biblical perspective, it will explore a number of meanings of suffering that essentially assert how suffering also serves to bring goodness to human life. These meanings are then complemented with a theological perspective which is based on the three aspects of soteriology, ecclesiology, and eschatology. Through this exploration, Christians are invited to “make peace” with their suffering by way of finding its different meanings. Suffering as a gift’ might help the believers embrace life in its fullness and accept their being human. The concept of God as the Loving Father’ could also help them find strength in facing suffering and grow in their faith as God’s children. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 285MELINTAS DI TENGAH PENDERITAAN SUATU INSPIRASI TEOLOGIS-BIBLIS KRISTIANIElvin Atmaja Hidayat Graduate Student Faculty of Philosophy Parahyangan Catholic University Bandung, IndonesiaAbstractSuffering is a reality experienced by every human being as an integral part of their life. As part of one’s life, suffering is inevitable. Some people whose faith in the benevolent God has been shaken by their worst suffering ask the question “Why does not God eliminate suffering if He is gracious and omnipotent?” This article sheds light on the problem of suffering using the Scriptures and theology, to fi nd the different meanings behind it. From the biblical perspective, it will explore a number of meanings of suffering that essentially assert how suffering also serves to bring goodness to human life. These meanings are then complemented with a theological perspective which is based on the three aspects of soteriology, ecclesiology, and eschatology. Through this exploration, Christians are invited to “make peace” with their suffering by way of fi nding its different meanings. Suffering as a gift’ might help the believers embrace life in its fullness and accept their being human. The concept of God as the Loving Father’ could also help them fi nd strength in facing suffering and grow in their faith as God’s in suffering  biblical inspiration  soteriology  ecclesiology  eschatology  the Loving [285-308] 286Introduksi Dari Manakah Datangnya Penderitaan?Terminologi derita’ memiliki arti menanggung merasai sesuatu yang tidak menyenangkan, sementara istilah penderitaan’ didefi nisikan sebagai penanggungan, perihal cara, dan sebagainya Dalam konteks Kristianitas, asal penderitaan di muka bumi sulit ditelusuri karena dikisahkan bahwa dalam Kitab Kejadian Allah yang Mahabaik telah menciptakan segala sesuatu “baik adanya”. Penderitaan sebagai sesuatu yang “tidak baik” dengan demikian dianggap bukan berasal dari Allah. Lalu, dari manakah datangnya penderitaan?Pertanyaan ini selaras dengan apa yang diserukan oleh G. W. Leibniz 1646-1716 dalam bukunya Esai tentang Teodisea, “Si Deus, unde malum?” “kalau Allah ada, dari manakah datangnya keburukan?”.2 Leibniz menyebutkan ada tiga jenis keburukan yang masing-masing mengakibatkan penderitaan dalam kadar yang berbeda. Keburukan pertama disebutnya keburukan fi sik malum physicum yang mewujud dalam bentuk penderitaan secara jasmani. Keburukan kedua disebut keburukan metafi sik malum metaphysicum yang mewujud dalam penderitaan akibat bencana alam, dan keburukan ketiga disebut keburukan moral malum morale yang merupakan akibat langsung penyalahgunaan kehendak bebas manusia, atau yang dapat disebut sebagai kejahatan’.3 Pada kenyataannya, banyak penderitaan manusia yang diakibatkan oleh tindakan jahat manusia lainnya yang tidak bertanggung jawab. Jadi, meskipun dalam beberapa kasus tertentu penderitaan bersumber dari bencana alam yang tidak disebabkan oleh manusia, penderitaan tidak terlepas begitu saja dari peran manusia. Berdasarkan gagasan Leibniz, diperoleh pemahaman bahwa penderitaan dapat diatasi sekaligus tidak dapat diatasi. Penderitaan pertama yang berasal dari keburukan fi sik malum physicum, yaitu ketika tubuh mengalami rasa sakit karena suatu penyakit atau hal-hal yang menyakitkan, dapat dicegah atau diatasi dengan memakan makanan sehat, berolah raga teratur, menghindari hal-hal yang berpotensi membahayakan keselamatan diri, dan sebagainya. Keburukan jenis ini dimengerti sebagai proses pembelajaran agar manusia berhati-hati dalam menjaga kesehatannya atau sebagai sanksi karena manusia lalai merawat tubuhnya sendiri. Meskipun begitu, penderitaan fi sik yang terjadi karena faktor keturunan atau genetis tidak dapat diatasi, melainkan hanya dapat diterima. Misalnya, penderitaan seorang anak yang berasal atau ditimbulkan dari keadaan cacat fi siknya Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 287MELINTAS lahir, tidak memiliki salah satu organ tubuh, atau kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata, atau tidak berfungsinya salah satu panca indera, dan sebagainya. Sumber penderitaan kedua disebut “keburukan metafi sik” karena berasal dari luar diri manusia dari alam dan melampaui batas-batas kemampuan atau pengendalian manusia. Keburukan metafi sik ini menimbulkan penderitaan yang juga dapat diatasi sekaligus tidak dapat diatasi. Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam berupa gempa bumi, tsunami, dan angin topan sama sekali tidak dapat diatasi oleh manusia. Suatu bencana alam dapat diatasi atau dicegah oleh manusia sejauh bencana tersebut disebabkan oleh campur tangan manusia sendiri. Misalnya, bencana banjir yang disebabkan oleh kebiasaan membuang sampah sembarangan dan menebang hutan secara liar, atau bencana tanah longsor yang ditimbulkan oleh tindakan manusia mengeruk tanah secara berlebihan. Penderitaan manusia yang berasal dari keburukan metafi sik dan yang dapat diatasi tampaknya lebih berhubungan erat dengan moralitas. Sumber penderitaan ketiga dalam gagasan Leibniz ialah keburukan moral malum morale. Penderitaan jenis ini merupakan satu-satunya yang dapat diubah oleh kemampuan atau usaha manusia sendiri. Dengan mengubah keburukan moral ini menjadi kebaikan, hilanglah pula penderitaan yang diakibatkan olehnya. Dengan kata lain, penderitaan ini dapat diatasi atau ditanggulangi oleh manusia dengan mengubah keburukan moral atau sifat dan perbuatannya yang jahat menjadi kebaikan. Banyak contoh penderitaan terjadi karena keburukan moral ini. Para korban bencana alam dan rakyat miskin, misalnya, mengalami penderitaan semakin besar karena bantuan yang seharusnya disalurkan kepada mereka dikorupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung Contoh lain ialah seorang anak menderita karena mengalami pelecehan seksual oleh seorang guru bahkan orang tua kandung yang selama ini menjadi panutan hidupnya. Penderitaan juga dialami oleh rakyat sipil yang menjadi korban peperangan di sejumlah negara. Penderitaan semacam itu tidak akan pernah terjadi jika oknum-oknum terkait memiliki moralitas yang baik. Sementara itu, dalam perspektif evolusionis yang dipelopori oleh Pierre Teilhard de Chardin 1881-1955, penderitaan dipandang muncul sebagai dampak dari dunia yang diciptakan Allah secara evolutif. Dalam proses evolusi dunia dari yang relatif tidak sempurna menuju keadaan 288yang sempurna, pasti terdapat beragam bentuk kejahatan, kegagalan, dan kesengsaraan yang mau tak mau terjadi. Jadi, menurut pandangan kaum evolusionis, penderitaan tidak berasal dari Allah, seakan-akan telah diciptakan-Nya sejak permulaan dunia, namun berasal dari proses evolusi Proses semacam ini terjadi pula dalam berbagai realitas kehidupan manusia, misalnya, dalam proses menuju kesuksesan hidup. Di China, misalnya, para atlet atau seniman yang berprestasi mengalami proses pelatihan amat keras sejak Anak-anak ini mengalami penderitaan dalam pelatihan karena harus melakukan apa yang mungkin tak mereka sukai dan karena harus kehilangan masa-masa bermain mereka. Terkait penjelasan mengenai proses evolutif ini, Allan McGinnis mengisahkan kesaksian hidup para tokoh dunia, misalnya, Isaac Newton yang mengalami kegagalan saat studi di bangku Sekolah Dasar, Werner von Braun yang gagal dalam bidang studi Aljabar di masa sekolah, atau Ludwig van Beethoven yang dinilai tidak berbakat Mereka semua adalah tokoh-tokoh hebat yang pernah mengalami kegagalan dan melakukan perjuangan keras hingga menyiksa diri, sampai akhirnya berhasil meraih kesuksesan. Seluruh proses ini harus terjadi dalam kerangka evolusi alam semesta, sebagaimana dinyatakan oleh Chardin bahwa “Nothing is constructed except at the price of an equivalent destruction.”8 Asal penderitaan dijelaskan sebagai konsekuensi logis atau sebagai sesuatu yang harus terjadi dari proses evolutif untuk mencapai sebagai Problem ImanSebagian orang dapat menerima penderitaannya dan menjadi semakin beriman saat diuji dalam penderitaan, sementara sebagian yang lain tidak dapat menerimanya dan kehilangan iman. Bagi orang yang tidak dapat menerima penderitaan hidupnya, Allah yang Mahakasih dianggap sebagai semacam konsep tipuan atau khayalan, sehingga kurang diimani, karena dianggap tidak membantu. Dalam penghayatan hidup beriman, penderitaan, terutama yang dialami orang-orang saleh, menimbulkan pertanyaan besar atas konsep Allah yang Mahaadil, Mahakasih, dan Mahakuasa. Orang bertanya-tanya mengapa penderitaan juga terjadi atas seseorang yang tidak pernah berbuat jahat terhadap sesamanya, dan mengapa Allah tidak menolong dengan Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 289MELINTAS Leonard SJ, misalnya, menerima rentetan pertanyaan serupa ketika adik perempuannya, Trecey, mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan total di usia dua puluh delapan tahun. Padahal, Trecey adalah seorang perempuan yang amat baik. Hari-hari hidupnya dibaktikan untuk merawat orang-orang paling menderita di Kalkuta dan mengelola klinik kesehatan untuk orang-orang Aborigin di Keats, Australia, bersama para biarawati. Leonard menerima banyak surat penghiburan bagi adiknya semenjak peristiwa itu, dan beberapa di antaranya terdengar menakutkan’ baginya karena berbunyi, “Trecey pasti telah melawan Allah sehingga ia mendapat hukuman selagi ia masih hidup di muka bumi.”10 Bagi Leonard, surat penghiburan itu merupakan teologi yang mengerikan, karena justru tidak mendekatkan manusia kepada Allah dalam situasi terburuk yang menimpa hidup Kisah yang dialami oleh Leonard ini menunjukkan bahwa realitas penderitaan sering disalahpahami. Penderitaan sering hanya dimaknai secara sempit sebagai hukuman’ atas dosa manusia. Pemaknaan semacam ini tidak lagi tidak bisa secara sempit dipandang sebagai sekadar hukuman’ dari Tuhan atas dosa manusia. Jawaban yang pasti mengenai asal penderitaan karenanya akan selalu menjadi pertanyaan dari masa ke masa. Di sini penderitaan menjadi sebuah problem, terutama dalam penghayatan iman akan Allah yang Mahabaik. Penderitaan sebagai salah satu sisi kehidupan manusia yang tak terelakkan tetap merupakan suatu misteri, sehingga tidak satu pun ciptaan tahu mengapa Allah menganugerahkan’-nya. Hal yang jelas ketika berbicara mengenai penderitaan ialah, bahwa penderitaan merupakan realitas hidup manusia yang nyata dan tak terhindarkan. Tulisan ini berusaha memaparkan pendekatan atas problem penderitaan tersebut dalam kajian biblis dan teologis. Tujuannya, umat beriman terbantu untuk bertahan dalam iman, manakala berhadapan langsung dengan realitas penderitaan yang tak Biblis Perspektif Kitab Suci Perjanjian Lama Gagasan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama setidaknya dapat dimaknai dalam tiga konsep, yakni 1 sebagai hukuman atas dosa pribadi, 2 sebagai pengorbanan, yaitu silih atas dosa orang lain dan konsekuensi atas iman kepada Allah dan kebenaran, 3 sebagai awal Gagasan-gagasan ini nanti akan diperbarui atau diperlengkapi dengan perspektif Kitab Suci Perjanjian Baru. 290Pertama, penderitaan dipandang sebagai hukuman atas dosa manusia. Ini merupakan pandangan yang umum berlaku dalam Perjanjian Lama. Kitab Kejadian yang mengawali Perjanjian Lama dan seluruh Kitab Suci menggambarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah sebagai baik adanya. Segala sengsara, penyakit dan derita mulai masuk ke dalam dunia yang diciptakan Allah sebagai baik itu karena pasangan manusia pertama berdosa dengan menuruti godaan setan Kejadian 2. Akibatnya, dalam Kej. 314-19, digambarkan bahwa Adam harus bekerja keras dan Hawa akan kesakitan pada waktu melahirkan, sebagai hukuman atas dosa mereka. Dalam Kitab Ulangan 30 dikatakan bahwa Tuhan akan menghukum bangsa Israel jika mereka tidak menuruti perintah-perintahNya. Pandangan umum Perjanjian Lama mengenai penderitaan sebagai hukuman atas dosa dirumuskan secara singkat dalam Amsal 119, “Siapa berpegang pada kebenaran sejati, menuju hidup, tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian.” Dengan kata lain, pemberontakan dosa manusia terhadap Sang Pencipta menjadi penyebab terjadinya penderitaan misalnya, Yes. 534-12. Dalam Kitab Bilangan 1210-12 juga terdapat kisah Miryam yang menderita kusta karena iri hati. Konsep pertama tentang penderitaan yang khas dari Perjanjian Lama ini juga eksplisit dalam Kitab Ayub, meskipun tidak terbukti dalam diri Ayub sendiri. Para sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya menganggap bahwa kemalangan besar yang dialami Ayub merupakan sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya, atau dengan kata lain sebagai suatu implikasi konkret konsep “pembalasan di bumi”.13 Menurut konsep “pembalasan di bumi” ini, semua perbuatan manusia, baik kejahatan maupun kebaikan akan diganjar pada saat manusia masih hidup. Hukum ini diandaikan mesti terjadi karena kehidupan setelah kematian belum dikenal dalam alam pikir Perjanjian Lama..14Kedua, penderitaan dimaknai sebagai suatu pengorbanan. Pengorbanan yang berpotensi menimbulkan penderitaan terdiri atas dua aspek, yaitu 1 silih atas dosa orang lain berkorban demi sesama, dan 2 konsekuensi iman kepada Allah dan kebenaran berkorban demi iman. Perjanjian Lama memuat aspek pertama dalam kisah penderitaan yang dialami oleh Yeremia, nabi yang harus banyak menderita karena tugas kenabiannya. Sedemikian berat deritanya sampai ia berani berseru kepada Allah, “Mengapakah penderitanku tidak berkesudahan dan lukaku sangat payah, sukar Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 291MELINTAS Sungguh, Engkau seperti sung ai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” Yer 1518. Perikop mengenai “hamba Tuhan yang menderita”, yang dideskripsikan sebagai seseorang yang kenyang dengan penderitaan dan dianggap sebagai orang yang dikutuk Tuhan, padahal dia diremukkan oleh karena dosa manusia Yes 535, dapat menjadi jawaban atas penderitaan yang dialami oleh para nabi dan rasul. John J. Collins, berdasarkan “Kidung Hamba Yahwe” itu, menggambarkan penderitaan seorang hamba’ sebagai orang yang diserahkan kepada kematian dan dihitung bersama orang-orang jahat, meskipun ia sendiri tidak melakukan kejahatan. Hidupnya diserahkan laksana kurban bagi orang Jadi, orang benar bisa menderita demi keselamatan orang lain, dan ia mewakili sesamanya dalam menanggung hukuman atas Aspek kedua yang menggambarkan penderitaan sebagai konsekuensi atas iman kepada Allah dan kebenaran termuat misalnya dalam Kitab 2Makabe 7. Dalam kitab ini dikisahkan tujuh orang bersaudara yang rela disiksa sampai mati demi mempertahankan iman mereka kepada Allah, kepada perjanjian dan perintah-perintahNya, dan akan kebenaran yang mereka imani. Gagasan ini memberikan suatu teladan kemartiran bagi orang beriman, yang menurut Collins harus diterima agar Hidup Abadi Berbeda dari pengertian penderitaan’ dalam aspek pertama, penderitaan yang dimaksud dalam aspek kedua ini tidak mengandung aspek penebusan atau penderitaan demi orang lain. Apa yang diperjuangkan dalam konteks kedua ialah kebenaran ideologis, pembelaan akan keyakinan yang dipercaya mampu menyelamatkan pribadi yang bersangkutan, suatu kematian demi mempertahankan iman. Terkait perikop 2Makabe 7 ini, Alphonse P. Spilly memberikan penafsiran mengenai kemartiran. Hal terutama yang mau diajarkan ialah bahwa ketaatan kepada hukum lebih penting daripada hidup itu sendiri lebih baik mati daripada melanggar hukum. Kematian dianggap tidak menakutkan karena Allah diyakini sebagai pencipta dan pemulih kehidupan; Allah dapat membuat semesta alam dan manusia dari kekosongan, maka Ia juga dapat memulihkan kehidupan Ketiga, penderitaan dipandang sebagai awal dari suatu kebaikan. Penderitaan dimaknai sebagai pendahulu’ atau “pembuka jalan” bagi sesuatu yang baik. Gagasan ini dijelaskan misalnya dalam kisah Yusuf dan Ayub. Yusuf mengalami penderitaan karena dibenci dan dijual oleh saudara-saudaranya, dan sempat mengalami nasib sebagai orang asing dan 292difi tnah oleh istri Potifar di Mesir. Yusuf berkata, “Janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” Kej. 455. Bagi Pauline A. Viviano, teologi yang ada di balik kisah Yusuf sangat jelas, yaitu bahwa Allah telah mengarahkan dan membimbing terjadinya peristiwa-peristiwa hidup. Allah ikut campur tangan dalam sejarah bangsa Israel, khususnya, dan sejarah manusia, umumnya. Allah dalam hal ini “turut andil” mengirim Yusuf ke Mesir guna memelihara mereka terhadap kehancuran Gagasan ketiga ini dapat ditemukan juga dalam Kitab Ayub yang memandang penderitaan sebagai ujian atas iman bdk. Ayub 19-12.20 Ujian hidup yang dialami Ayub sangat berat, dari kehilangan ternak dan anak-anaknya serta menderita penyakit kulit mengerikan. Kenyataan buruk yang awalnya sangat berat diterima ini, ternyata mengawali suatu kebaikan dalam hidup Ayub, yakni kematangannya dalam beriman, dan bahkan menjadi awal pengenalan antara Allah dan manusia secara lebih mendalam. Ketika Ayub menderita hebat, dalam keyakinannya bahwa ia memang tidak pernah melakukan kejahatan apa pun yang membuatnya layak dihukum, ia mulai bertanya kepada Allah. Sejak Bab 38-42 epilog, Allah sendiri menampakkan diri dan menyingkapkan diri-Nya. Allah tidak menjelaskan mengapa Ayub menderita, melainkan hanya menunjukkan kepadanya kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, sambil menyadarkan Ayub akan kekecilannya sebagai manusia. Lewat pengalaman penderitaan inilah, Allah memberi Ayub gambaran yang lebih lengkap dan semakin otentik akan diri-Nya meskipun Ia tetaplah misteri, yaitu bahwa Ia bukan semata-mata Allah yang suka membalas dendam atau menghukum manusia berdosa. Pengenalan mendalam akan Allah ini dinyatakan oleh Allah dalam Ayub 427-8, “Ayub hamba-Ku, telah bicara benar mengenai Aku.”21 Melalui penderitaan, bukan hanya manusia menjadi semakin mengenali Allah, melainkan Allah pun semakin mengenali manusia. Allah menyetujui provokasi setan untuk mencobai Ayub dengan penderitaan Ayub 16-12, bukan hanya untuk memperlihatkan kepada setan bahwa Ayub adalah orang yang sungguh tulus, namun juga untuk mengenali bagi diri-Nya sendiri siapakah Ayub itu. Dan ternyata bahwa dia sungguh-sungguh orang yang beriman. Pengenalan yang semakin mendalam antara Ayub dan Allah ini menciptakan persahabatan relasi yang intim di antara keduanya, yang kembali terjalin seperti dulu seperti digambarkan Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 293MELINTAS bab 11-5.22 Kedekatan antara Allah dan Ayub yang pertama-tama disebabkan oleh penderitaan, bahkan membuat Allah memulihkan dua kali lipat keadaan Ayub 4210-17. Pengalaman kedua tokoh Perjanjian Lama tersebut Yusuf dan Ayub memuat gagasan bahwa penderitaan atau apa yang semula tampak seperti malapetaka ternyata akan berakhir dengan baik, sesuai kehendak Allah, karena Allah telah mengatur segala sesuatu sedemikian rupa. Dalam hal ini, kehendak bebas manusia diandaikan tetap menentukan. Melalui gagasan yang terakhir ini, pandangan Perjanjian Lama tentang penderitan mulai diperbarui. Ada hal yang lebih bermakna mengenai penderitaan daripada hanya sebagai suatu ganjaran atas dosa, yaitu suatu kebaikan di akhir bagi manusia yang menderita itu sendiri, bahkan bagi semua orang di Penderitaan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru Makna penderitaan manusia yang terkandung dalam keseluruhan Kitab Suci mencapai puncaknya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yaitu dalam diri Kristus, melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya yang luhur. Dua di antara empat konsep Perjanjian Baru memiliki persamaan dengan apa yang sebelumnya telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Kendati serupa, sebagai suatu bagian yang berbeda, keduanya memiliki ciri khas atau penekanan masing-masing yang membedakan pandangannya satu dari yang lain. Kehadiran Yesus dalam Perjanjian Baru merestorasi pandangan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama, terutama gagasan konservatif bahwa penderitaan merupakan hukuman atas dosa manusia. Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan jawaban diplomatis dan lebih realistis atas kenyataan penderitaan dengan keterkaitannya pada unsur rencana ilahi, “…pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia” Yoh. 92-3. Yesus menolak pandangan bahwa setiap penderitaan disebabkan oleh dosa orang yang menderita itu sendiri atau karena dosa nenek moyangnya. Misalnya, Luk. 132, tentang “dosa dan penderitaan”, yakni ketika Yesus menegaskan bahwa nasib buruk yang dialami sejumlah orang bukanlah karena dosanya yang lebih besar daripada orang-orang lain. Karena penderitaan bukan disebabkan semata-mata oleh dosa, saya akan menguraikan keempat gagasan lain agar penderitaan dapat dialami sebagai sesuatu yang lebih dalam Perjanjian Baru penderitaan dipandang sebagai partisipasi manusia dalam penderitaan Kristus. Unsur partisipatif ini berdasar pada 294solidaritas Allah yang rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus dan yang rela menanggung penderitaan bersama manusia. Gagasan pertama ini bertolak dari 1Yoh. 419 yang berbunyi, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Jadi, partisipasi manusia dalam penderitaan Kristus bukan pertama-tama karena manusia mengasihi Allah, melainkan karena Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia dengan solidaritas-Nya dan menjelma sebagai manusia kenosis.23 Sebagai manusia, Ia mengalami penderitaan bersama manusia lainnya. Penderitaan Yesus merupakan cara-Nya menarik manusia kepada Allah. Pandangan semacam ini sudah muncul dalam Jemaat Kristen Purba setelah peristiwa Yesus naik ke surga yang memandang penderitaan sebagai kesempatan untuk mengambil bagian atau berpartisipasi dalam kemuliaan Kristus misalnya, 1Petrus 220. Jadi, Yesus menyodorkan pemahaman baru. Ia tidak menjelaskan penyebab penderitaan dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Ia justru menempatkan penderitaan dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian dari hidup-Nya. Gagasan pertama ini juga dapat ditemukan dalam pengalaman Paulus, misalnya, dalam 1Kor. 410-13, 2Kor. 48-11, dan 1123-29. Ada berbagai penderitaan dan tekanan yang dihadapinya, seperti diabaikan, haus dan kelaparan, kurang tidur, disiksa, direndahkan, kedinginan dan kepanasan, dan sebagainya. Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, ia merenungkan bahwa “kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami” 2Kor 411.24 Penderitaan sebagai aspek partisipatif dapat ditemukan pula dalam surat-surat Paulus, yaitu Galatia 219-20, “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” dan Filipi 310-11, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia…” Orang beriman diberi kekuatan untuk menanggung penderitaannya berdasarkan kesadaran bahwa Kristus pun mengalami hal yang serupa dan berhasil menang atas penderitaan tersebut. Kedua, penderitaan dimaknai sama seperti konsep Perjanjian Lama di atas, yaitu sebagai suatu pengorbanan untuk orang lain dan untuk kebenaran. Seperti para nabi Perjanjian Lama, Yesus juga menderita karena menjalankan misi Allah Bapa-Nya Luk. 2426, 46; Kis. 318 dan sama Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 295MELINTAS Yusuf, Ia juga harus mengalami penderitaan demi penyelamatan manusia. Dalam Yoh. 1513, Yesus memaknai penderitaan-Nya sebagai perwujudan kasih yang terbesar bagi manusia yang disebut-Nya sebagai sahabat’. Dengan kata lain, kasih selalu berarti pengorbanan atau kerelaan menderita bagi orang lain. Dalam gagasan kedua ini, penderitaan Yesus dimaknai sebagai penebusan’ redemption, yaitu pengorbanan Allah untuk membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan kejahatan Kol. 113-14 serta menyucikan manusia dari kesalahannya 1Kor. 611, Ef. 525-26, Ibr. 2 17-18.25 Secara luas, penderitaan dalam konsep pengorbanan ini tidak hanya merujuk pada sesama manusia, melainkan juga sebagai konsekuensi dari keteguhan membela iman atau karena kesetiaan mempertahankan kebenaran. Manusia bisa mengalami penderitaan sebagai seorang martir akibat penganiayaan karena iman yang dimilikinya atau karena membela kebenaran alkitabiah 2Timotius 312. G. W. H. Lampe memandang aspek kemartiran semacam ini sebagai salah satu metode dan model paling efektif untuk evangelisasi. Mengacu pada zaman Kekaisaran Romawi, terjadi banyak eksekusi mati di hadapan publik terhadap orang-orang Kristiani. Lampe melihat penderitaan para pengikut Kristus itu sebagai suatu kesempatan untuk mempropagandakan iman atau memberikan kesaksian tentang Kemartiran Stefanus Kisah Para Rasul 6-8. misalnya, ditafsirkan oleh John Foxe sebagai benih pertobatan Saulus Saulus turut andil dan hadir menyaksikan pembunuhan Stefanus, lih. Kis. 758; 83; 2220.27 Pertobatan radikal Saulus baru terjadi ketika ia mengalami pengalaman rohani dalam perjalanannya menuju Damaskus Kis. 94-9, namun kemartiran penderitaan Stefanus dianggap sebagai awal pengenalan Paulus akan Kekristenan sejati. Ketiga, penderitaan dipandang sebagai awal atau permulaan kemuliaan manusia. Gagasan ini juga serupa dengan gagasan ketiga yang diuraikan dari Perjanjian Lama. Meskipun adalah misteri, penderitaan memiliki makna. Tujuan utamanya adalah supaya terbentuk sifat-sifat seperti Kristus dalam diri seseorang Roma 828-29. Dengan kata lain, penderitaan dipandang sebagai satu proses menjawab panggilan hidup menuju kesempurnaan Mat. 548. Sebagai suatu proses, penemuan makna atau hikmah dari suatu pengalaman penderitaan memerlukan waktu dan menuntut kesabaran. J. S. Feinberg mendukung gagasan ini dengan mengatakan bahwa Allah menggunakan penderitaan untuk mendahului proses pemuliaan bagi orang 296beriman, contohnya, Filipi 25-11 dan 1Petrus 3 Penderitaan para pengikut Kristus dipandang hanya berlangsung sesaat 1 Ptr. 16, 510 dan akan segera digantikan oleh kemuliaan abadi yang tak terkatakan Rm. 818, 2 Kor. 417. Morna D. Hooker menemukan gagasan seperti ini dengan mengacu pada Roma 51-5 dan Filipi 3. Bagi Hooker, penderitaan menuntun manusia menuju suatu kemuliaan, yakni hidup di dalam Untuk membuat manusia layak menerima kemuliaan itu, penderitaan memiliki peran penting lainnya. Penderitaan dapat memurnikan Yak. 13, 12, 1Ptr. 17 atau menuntun manusia menuju pertobatan serta berguna pula sebagai sebagai pendidik manusia dalam keutamaan-keutamaan Kristiani, terutama perihal ketahanan endurance dan ketekunan perseverance. Gagasan ini dapat ditemukan misalnya dalam Roma 53-4, “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan”, atau dalam Yakobus 13-4, “Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun”.30 Dengan demikian, penderitaan yang awalnya tampak sebagai hal mengerikan dan ditolak, ternyata membawa hasil akhir yang baik. Hasil ini dapat dipetik sejak masih hidup di dunia yaitu berupa pembelajaran hidup yang mendewasakan manusia, maupun kelak sesudah kematian yaitu kemuliaan di surga. Gagasan ketiga ini menyingkapkan dimensi eskatologis penderitaan penderitaan dipandang sebagai kesempatan manusia mengenali Allah sebagai kasih dan membuktikan kesetiaan kepada-Nya. Leon Morris mengemukakan gagasan ini dengan mengacu pada Roma 53-5. Bagi Morris, perikop tersebut merupakan suatu rangkaian pikiran yang langsung menuju pada kasih Allah. Penderitaan bukanlah bukti bahwa Allah tidak mengasihi kita, melainkan justru bahwa Allah mengasihi kita. Allah yang Mahakasih itu dimaknainya juga sebagai Allah yang adil. Paulus bisa berbicara tentang ketabahan orang-orang Tesalonika di tengah pengejaran dan kesukaran sebagai bukti adilnya penghakiman Allah 2Tesalonika 14-5. Morris memandang penderitaan dalam perspektif Paulus, sebagai bagian dari kasih Allah kepada manusia untuk menjadikan manusia sebaik Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 297MELINTAS Dalam gagasan keempat ini, penderitaan menjadi sarana pewahyuan Allah yang transenden. Ia mewahyukan bahwa diri-Nya adalah yang Mahakasih. Groenen menekankan gagasan ini terutama berdasarkan telaahnya atas Injil Markus, “penderitaan sebagai penyataan Anak Allah”.32 Darmawijaya juga menjelaskan penderitaan dalam kerangka Injil Markus, sebagai penyataan Anak Allah atau sebagai perwahyuan Mesias yang harus menderita Mrk. 831, 931, 1033. Melalui penderitaan dan wafat Yesus di salib, tersingkaplah misteri siapa diri-Nya, yaitu raja yang berkuasa, Anak Manusia, hakim paripurna lih. Mrk. 1539, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!”.33 Dengan demikian, gagasan keempat ini membantu orang-orang yang menderita memaknai penderitaannya sebagai sarana mengenali Allah dengan lebih mendalam, yakni sebagai Allah yang Teologis terhadap PenderitaanDalam bagian ini, penderitaan ditelaah berdasarkan sudut pandang ketiga cabang teologi kristiani, yaitu soteriologi, eklesiologi, dan eskatologi. Secara sederhana, teologi keselamatan soteriologi memandang penderitaan sebagai jalan penyelamatan manusia, sebagai via dolorosa sebagaimana dialami Yesus Kristus sendiri. Leonardo Boff, misalnya, mengajukan suatu pandangan soteriologis atas penderitaan dengan mengatakan bahwa penderitaan dan penyaliban yang dialami Yesus bermakna soteriologis karena menunjuk pada Allah yang merengkuh salib itu demi solidaritas dengan semua orang yang menderita di dalam sejarah. Allah menerima salib itu di dalam Yesus bukan untuk mengekalkannya dan menyingkirkan pengharapan manusia, namun demi mengakhiri semua salib di dalam Menurut keyakinan kristiani, tidak ada orang yang dapat memperoleh keselamatan hanya melalui usaha mereka sendiri, baik itu dengan ritus-ritus, perbuatan baik, persembahan, meditasi, atau cara-cara lainnya. Pengorbanan Yesus di salib menyempurnakan keselamatan yang diusahakan Boff mengajak manusia menemukan aspek penyelamatan atas penderitaannya dengan bertolak dari penderitaan Kristus sendiri. Dengan kata lain, dalam konteks soteriologi, penderitaan dipandang sebagai salib’ yang harus dipikul atau sebagai suatu realitas yang harus dialami agar manusia memperoleh keselamatan. Keyakinan serupa diungkapkan Edward Schillebeeckx “Salvation can also be achieved in suffering and in an unjust execution.”36 Bagi Schillebeeckx, keselamatan juga dapat diraih melalui jalan penderitaan. 298Teologi Gereja eklesiologi memandang penderitaan seolah-olah sebagai “duri dalam daging” atau masalah dalam komunitas gerejawi yang mesti diselesaikan untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Maka, dalam konteks ini, digunakan “eklesiologi pembebasan” yang memfokuskan kajiannya pada konteks kemiskinan dan ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan manusia. Eklesiologi pembebasan merupakan eklesiologi kritis yang mempertanyakan terutama kondisi sosial-kultural kehidupan Penderitaan dalam dimensi eklesiologis ditempatkan sebagai locus theologicus dalam artian sebagai tempat kehadiran Allah dimanifestasikan; penderitaan dipandang sebagai ranah berteologi. Ciri eklesiologi pembebasan adalah mengundang partisipasi umat beriman untuk pembaruan struktur Gereja. Gereja yang menjajah dan menjarah orang miskin diubah menjadi Gereja dari, oleh, dan untuk orang miskin. Teologi eklesiologi pembebasan menjadi salah satu alternatif yang cukup memadai untuk mendekati problem penderitaan karena mengupayakan suatu perubahan struktural atau sistematik dalam masyarakat tertentu. Teologi pembebasan berikhtiar menemukan jawaban atas penderitaan manusia dalam arti luas, dengan menyentuh berbagai ranah sosial kemasyarakatan, bukan hanya dengan pendekatan personal antarpribadi. Dari refl eksi teologis diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada, contohnya, aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud oleh teologi pembebasan sebagai refl eksi Bagi Gustavo Gutiérrez, jawaban atas problem penderitaan adalah jalan pembebasan’ yang harus terjadi dalam tiga aspek strategis. Baginya, ketiga aspek ini berdaya melenyapkan penderitaan sampai ke akarnya, yaitu 1 pembebasan ekonomi, sosial, dan politik, 2 pembebasan manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidaritas yang baru 3 pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua Teologi Hal-Hal Akhir eskatologi, penderitaan dapat ditelaah dalam korelasinya dengan dimensi eklesiologis yang dijelaskan di atas. Korelasi di antara keduanya tampak dalam kontinuitas antara nilai-nilai eklesiologis, seperti martabat manusia, persaudaraan, dan pembebasan dari penderitaan yang harus direalisasikan dalam sejarah dan pemenuhan eskatologis, yakni dalam Kerajaan Akhir. Dunia dipandang sebagai wahana penghayatan nilai-nilai, sementara pengharapan eskatologis akan Kerajaan Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 299MELINTAS adalah motif untuk mencari keadilan, perdamaian, atau pembebasan’ atas penderitaan dunia Pentingnya korelasi antara eklesiologi dan eskatologi, misalnya, ditunjukkan oleh Wolfhart Pannenberg. Menurutnya, Gereja akan kehilangan dimensi sosial jika melakukan penyimpangan dari karakternya sebagai sebuah komunitas Jurgen Moltmann juga menafsirkan misi Gereja sebagai hamba atau pelayan dalam rangka pengertian eskatologis. Gereja harus mengangkat masyarakat setempat menuju horizon pengharapannya sendiri akan pemenuhan eskatologis atas keadilan, kehidupan, kemanusiaan, dan keramahan. Setiap orang Kristen diikutsertakan dalam kerasulan untuk memberikan harapan bagi dunia yang menderita, dan di sanalah Gereja menemukan esensinya yang menjadikannya Gereja Allah. Moltmann memandang bahwa Gereja sendiri bukanlah keselamatan dunia, sehingga penggerejaan dunia belum berarti keselamatan terakhir, tetapi ia melayani keselamatan yang akan datang bagi Moltmann memandang penderitaan secara eskatologis sebagai pangkal dari harapan akan kebangkitan. Pertama-tama, penderitaan manusia menimbulkan iman akan Yesus Kristus yang juga menderita sebagai wujud keterlibatan Allah dalam sejarah penderitaan manusia; selanjutnya penderitaan yang sama juga menumbuhkan iman akan kebangkitan-Nya. Kebangkitan Kristus memberikan harapan akan kebangkitan manusia. Gereja bertugas memperkenalkan nilai-nilai Kerajan Allah kepada segenap masyarakat di dunia sekarang ini. Hubungan senada diungkapkan oleh Karl Rahner yang berpendapat bahwa apa yang kita ketahui tentang eskatologi Kristiani itu kita ketahui mengenai situasi manusia sekarang dalam sejarah keselamatan. Melalui penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristus segala sesuatu telah selesai. Eskaton tidak lagi membawa sesuatu yang baru, melainkan hanyalah menyingkapkan keselamatan yang kini sudah ada secara tersembunyi. Rahner menekankan bahwa hasil kemenangan eskatologis Kristus ialah rahmat yang effi cax berhasil, tidak hanya cukup’ dan rahmat ini bukan saja mungkin diberikan, melainkan de facto telah Menurut Rahner, “Gereja ialah suatu jemaat yang sedang berziarah menuju kebahagiaan kekal”.44 Hans Küng juga mendukung korelasi ini dengan mengatakan bahwa umat Allah akan benar-benar menjadi umat Allah ketika dikumpulkan dalam perjamuan surgawi. Gereja di dunia adalah suatu antisipasi Gereja Melalui penjelasan para teolog terkait korelasi antara dimensi eskatologis dan dimensi eklesiologis, dapat dipahami bahwa penderitaan 300secara eskatologis dilihat sebagai sarana mengalami awal hidup abadi, atau yang dalam bahasa Küng adalah awal memasuki “rumah cahaya”.46Allah sebagai “Bapa Mahakasih” suatu Konsep yang Meneguhkan47Di atas telah dipaparkan konsep penderitaan dalam Kitab Suci dan pandangan para teolog. Telaah atas penderitaan menjadi makin inspiratif dan berdaya guna jika umat beriman memperoleh alternatif atau cara lain untuk bertahan dalam iman akan Allah yang Mahabaik, ketika ditimpa penderitaan bertubi-tubi. Gambaran “bapa” menjadi salah satu analogi yang dapat membantu orang agar tetap tegar dan beriman menghadapi penderitaannya. Allah yang adalah “Bapa” membuat penderitaan dapat dimengerti sebagai hukuman’, namun yang bertujuan baik. Penderitaan dianalogi sebagai suatu hukuman dari seorang bapa kepada anaknya agar ia bertumbuh dewasa, menjadi lebih disiplin, tahan banting, dan bertumbuh dalam berbagai keutamaan hidup. Istilah hukuman’ di sini dapat dimengerti lebih sebagai “bentuk pembiaran” Allah. Dalam bahasan mengenai Perjanjian Lama, penderitaan Ayub berasal dari iblis, bukan dari Allah sendiri. Allah hanya mengizinkan iblis untuk mencobai manusia. Allah menghukum dalam arti mengizinkan atau membiarkan penderitaan terjadi atas manusia dan sama sekali tidak berperan secara aktif memberikan’ penderitaan tersebut, sebab bagaimanapun Allah adalah Kasih. Analogi Allah sebagai bapa yang menghukum manusia, anaknya, penting dipaparkan untuk membuat penderitaan lebih mudah dipahami dan diterima. Küng memahami bahwa Yesus sendiri tidak menjawab problem kejahatan, ketidakadilan, kelemahan, dan penderitaan dalam dunia, dengan memberikan pandangan fi losofi s atau pembenaran teologis. Jawaban yang diberikan Yesus berorientasi kepada Allah sebagai Hanya Allah sebagai seorang Bapalah dapat memahami segala yang dibutuhkan manusia sebelum manusia memintanya, dan mampu membuat kekhawatiran, ketidakadilan, dan kecenderungan berdosa dalam diri manusia pudar. Allah yang dipandang sebagai Bapa juga dapat memampukan manusia memaknai penderitaan dan Penolakan terhadap konsep Allah sebagai penghukum aktif juga diutarakan oleh Karl Rahner “Tuhan mengizinkan, bukan memberikan penderitaan.” Rahner menggagas penger tian ini berdasarkan pemahamannya akan Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak-anak-Nya. Allah yang dipahaminya sebagai Bapa hanya’ mengizinkan penderitaan terjadi atas Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 301MELINTAS dan tidak memberikannya kepada manusia. Ia justru menerangi suramnya penderitaan, yang digambarkan Rahner bagaikan kegelapan neraka, dan bahkan menemani manusia berada di dalamnya. Kehadiran dan kebersamaan-Nya memungkinkan Allah menjadi Allah, yaitu sebagai seorang Bapa yang tidak pernah meninggalkan manusia yang menderita. Karena senantiasa disertai-Nya, manusia tidak perlu mempersalahkan Allah atas penderitaan yang dialami, melainkan harus bersyukur karena Allah tetap bersamanya menjalani situasi Relasi antara manusia sebagai anak dan Allah sebagai seorang Bapa digambarkan secara jelas dalam doa yang diutarakan oleh Henry Nouwen “Sedikit demi sedikit aku menyadari bahwa aku ingin Kau lihat, ingin diam di bawah tatapan-Mu yang penuh kasih, dan ingin tumbuh menjadi kuat dan lembut di mata-Mu.”51 Analogi Allah sebagai Bapa atau bapak’ dalam sapaan sehari-hari, membantu manusia menerjemahkan penderitaannya sebagai hal yang mendidik, mendewasakan, dan membawa berbagai manfaat lain baginya. Seorang bapak yang baik tidak selalu menggendong atau menuntun anaknya, namun ada kalanya membiarkan anak itu berjalan sendiri meskipun harus menderita karena terjatuh berulang kali. Melalui cara ini, anak menjadi pribadi yang berdaya juang dan mandiri. Gagasan senada diungkapkan pula dalam dokumen Salvifi ci Doloris dari Paus Yohanes Paulus II 1984 dengan mengutip 2Mak. 612, “…hukuman-hukuman ini tidak bermaksud untuk membinasakan bangsa kita, tapi untuk memperbaikinya.”52 Kutipan ayat Kitab Suci ini mau menegaskan manfaat atau hikmah di balik penderitaan. Penderitaan yang dialami manusia terjadi seizin Allah, yang diimani manusia sebagai seorang Bapa. Seorang Bapa mengetahui apa yang dibutuhkan anaknya bahkan sebelum diminta dan tidak akan memberikan apa yang sebaliknya. Dalam konteks relasi Bapa dan anak, hukuman yang dipahami sebagai pembiaran Allah dimengerti bukan untuk membinasakan, melainkan untuk memperbaiki. Perbaikan dari hal-hal yang kurang benar, merupakan kebutuhan seorang anak agar menjadi lebih matang dan berdaya juang dalam kehidupan. “Jika seorang anak minta roti kepada ayahnya, apakah ia akan diberi batu? Jika ia minta ikan, apakah ia akan diberi ular berbisa? Tentu saja tidak! Dan jika kalian yang keras hati dan berdosa tahu bagaimana memberikan yang baik kepada anak-anak kalian, apalagi Bapa yang di surga. Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” Mat. 79-11. 302Alasan edukatif ini mungkin dapat dipahami sebagai salah satu maksud Allah membiarkan manusia mengalami berbagai penderitaan semasa hidupnya. Dengan memahami dan menghayati kebenaran iman ini, tak ada alasan bagi manusia untuk goyah ketika Penderitaan merupakan suatu realitas yang tak terelakkan dan terus menerus menghantui hidup manusia. Kenyataan ini digambarkan oleh Yeremia dengan suatu pertanyaan retoris, “Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?” Yer. 158 Sebagai bagian integral kehidupan, penderitaan seharusnya diterima dengan berani. Umat beriman mesti mengusahakan jalan untuk berdamai dengannya. Melalui pendekatan biblis dan teologis yang ditawarkan di atas, penderitaan yang tak terhindarkan menjadi sesuatu yang berharga untuk dijalani. Beberapa pokok dapat dirumuskan sebagai penderitaan dilihat secara lebih utuh, yakni dengan sudut pandang biblis dan teologis. Sebelum didekati dengan kedua perspektif ini, penderitaan hampir selalu berakhir dengan penjelasan sebagai sekadar misteri’ atau hukuman’. Kedua penjelasan ini terlalu simplistis. Bahasan dari sudut pandang biblis-teologis yang ditawarkan di atas memungkinkan realitas penderitaan memperoleh pemaknaan baru. Dengan memandang penderitaan secara baru, muncullah pengharapan akan perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu pandangan itu adalah penderitaan dipandang sebagai suatu proses atau perjalanan hidup menuju penyempurnaan. Manusia diajak untuk melihat realitas penderitaan dari sudut pandang Allah. Allah yang Mahabaik menghendaki kebaikan bagi setiap manusia di balik setiap bentuk penderitaan yang diizinkan-Nya. Di akhir proses kehidupan yang memuat penderitaan sebagai salah satu bagiannya, Allah menanti dengan sabar. Penderitaan hanya bersifat sementara, atau seperti kata Paulus, “kematian tak lagi berdaya sengat”; habis gelap akan terbit terang. Manusia disadarkan bahwa ia tidak pernah sendirian dalam menghadapi penderitaan. Penderitaan menyakitkan dan menimbulkan luka. Meskipun demikian, selalu ada sesama yang mendampingi, bahkan Allah sendiri, yang adalah “Bapa”, hadir dan selalu mengulurkan tangan. Dengan kesadaran ini, penderitaan menjadi realitas yang dapat dihadapi dengan suka rela, bahkan dapat diterima dengan penuh Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 303MELINTAS secara spesifi k melalui pendekatan biblis Kitab Suci, seorang Kristen disadarkan bahwa penderitaan merupakan suatu anugerah dari Allah yang Mahabaik. Penderitaan adalah anugerah karena berpotensi mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri maupun sesama. Kebaikan-kebaikan itu ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, penderitaan dimaknai dalam tiga gagasan 1 hukuman atas dosa,53 2 pengorbanan demi sesama dan iman akan Allah,54 3 pembuka jalan atau awal kebaikan, sebagaimana dialami oleh Yusuf dan Ayub. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru, penderitaan dimaknai dalam empat gagasan 1 partisipasi dalam penderitaan Kristus misalnya 2Kor. 4 11. 2 pengorbanan untuk sesama dan kebenaran, sebagaimana diteladankan oleh Yesus demi keselamatan manusia, 3 kesempatan meraih kesempurnaan, “orang harus mengalami ujian hidup supaya menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun” Yak. 13-4. 4 sarana mengenali Allah sebagai Kasih. Penderitaan Yesus menyingkapkan besarnya kasih Allah bagi manusia Yoh. 1513. Pendekatan biblis dalam tulisan ini memberikan penerangan kepada umat beriman yang menderita bahwa penderitaan juga mengandung unsur kebaikan. Oleh sebab itu, penderitaan semestinya diterima sebagai anugerah. Para rasul mengajarkan bahwa penderitaan dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan Rm. 828 agar orang Kristen semakin dewasa dan teruji dalam melalui pendekatan teologis, ditunjukkan alternatif-alternatif menghadapi penderitaan. Ketiga dimensi yang dipaparkan dalam pendekatan teologis ini, yakni eklesiologi, eskatologi, dan soteriologi, mengarah pada Yesus yang menderita, wafat, dan bangkit. Dalam dimensi eklesiologis, ditawarkan dua inspirasi untuk menyikapi penderitaan. 1 Penderitaan dipandang sebagai sarana pembebasan melalui penebusan Kristus. Pembebasan dianugerahkan oleh Kristus yang mengadakan dan mengasuh “misteri keselamatan”, yaitu Gereja 2 sarana pemersatu umat manusia. Penderitaan mengundang manusia untuk berempati satu sama lain lintassuku, agama, dan golongan. Dalam berbagai bencana, misalnya, kebanyakan orang bersatu untuk mengangkat penderitaan sesamanya. Dalam dimensi eskatologis, penderitaan dipandang sebagai 1 sarana mencicipi hidup abadi, yakni sebuah “awal memasuki rumah cahaya” dan 2 undangan Allah untuk semakin dekat pada-Nya. Pendekatan ini berguna untuk orang-orang yang menderita sekaligus juga bagi para pendamping keluarga atau 304dokter dan perawat. Dalam dimensi soteriologis, penderitaan dipandang sebagai sesuatu yang harus dialami untuk memperoleh keselamatan, ibarat “salib yang harus dipikul” untuk mencapai Paskah mulia. Melalui ketiga dimensi dalam pendekatan teologis ini, orang beriman dapat menemukan pertanggungjawaban iman dalam menghadapi problem penderitaan, yaitu melalui pengalaman Yesus Kristus. Mengaitkan penderitaan manusia dengan penderitaan Yesus memberi pengharapan akan suatu kemuliaan kebangkitan’ di masa depan. Upaya mengorelasikan keduanya membuat penderitaan menjadi bermakna dan para penderita memperoleh daya kekuatan untuk menanggungnya sebagai sesuatu yang berharga. Penderitaan tidak lagi dipandang sebagai beban kehidupan, melainkan bagian integral kehidupan. Perbedaannya di sini ada pada disposisi batin, yakni ketika manusia mampu menemukan makna penderitaannya dalam kerangka kehendak Allah. Jawaban yang memuaskan atas makna penderitaan di dunia mungkin tidak dapat ditemukan seutuhnya, karena manusia hanya mampu menilai dunia dari sudut pandangnya yang terbatas. Alam pikiran manusia tak dapat menjangkau rahasia rencana Allah. Diperlukan permenungan mendalam untuk menemukan kenyataan bahwa “Allah adalah Kasih” dan “manusia adalah pribadi yang dikasihi”, dan keduanya termasuk di dalam realitas penderitaan. Allah beserta rencana-Nya merupakan misteri yang tidak dapat dipahami manusia. Perenungan seputar problem penderitaan tidak akan berakhir pada jawaban yang jelas. Dialog teologis dan spiritual masih bisa dieksplorasi lebih lanjut untuk membantu umat Kristen yang mengalami penderitaan. Mungkin setiap zaman selalu membutuhkan jawaban dan pendekatan yang berbeda. Penderitaan menimbulkan harapan bagi orang beriman, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan kami” 2Kor. 417.ReferencesBergant, Dianne. dan Robert J. Karris Ed.. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta Kanisius. Leonardo. Passion of Christ, Passion of the World The Facts, Their Interpretation, and Their Meaning Yesterday and Today. Maryknoll, NY Orbis Books. 1984. Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 305MELINTAS Raymond E., et. al. Eds... The Jerome Biblical Commentary. New Jersey Prentice Hall. Brian. Rangkaian Kisah Bermakna. Jakarta Obor. Pierre T. The Phenomenon of Man. London Collins. Amy. Battle Hymn of the Tiger Mother. New York The Penguin Press. Gerald O’ dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta Kanisius. John J. Makabe I dan II. Yogyakarta Kanisius. St. Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus. Yogyakarta Kanisius. Nico S. Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta Kanisius. Avery. Model-model Gereja. Ende Nusa Indah. Walter A. Ed.. Evangelical Dictionary of Theology. Michigan Baker Book House. J. Foxes Book of Martyrs. Jakarta Andi. R. The Liberation Theology Debate. Maryknoll Orbis Books. C. Pengantar ke dalam Per janjian Lama. Yogyakarta Kanisius. Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus. Ende Nusa Indah. Gustavo. A Theology of Liberation History, Politics and Salvation. Maryknoll, NY Orbis Books. William. and Brian Mc Neil Ed.. Suffering and Martyrdom in the New Testament. Cambridge Cambridge University Press. Senin, 10 November Hans. Does God Exist?. London Collins. Eternal Life. London SCM Press. C. M. Kesaksian Santo Paulus. Yogyakarta Kanisius. Jurgen. Theology of Hope. London SCM Press. Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang Yayasan Penerbit Gandum Mas. Henry The Road to Daybreak A Spiritual Journey. New York Doubleday. Pius. Ex Latina Claritas. Jakarta Obor. H. “Mengapa Orang Benar Menderita?” Wacana Biblika Vol. 14, 306No. 2, April-Juni W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta PN. Balai Pustaka. 1982. Rahner, K. Theological Investigations XIX. New York Crossroad. Leonard, Richard. “Where the Hell is God?” Thinking Faith The Online Journal of the British Jesuits F. Suryanto Hadi terj., dalam Rohani, Nomor 02, Tahun ke-59, Februari E. Church The Human Story of God. New York Crossroad. Teologi Pembebasan Gustavo Gutiérrez. Yogyakarta Jendela. Simon P. L. Petualangan Intelektual Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta Kanisius. Wim van der. Seni Hidup. Yogyakarta Kanisius. N. M. An Introduction to Teilhard de Chardin. Fontana Library Theology and Philosophy. Paulus II, Paus Terj. R. Hadiwikarta. Salvifi ci Doloris. Jakarta Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta PN. Balai Pustaka, 1982 245. 2 Pius Pandor, Ex Latina Claritas Jakarta Obor, 2010 Bdk. Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern Yogyakarta Kanisius, 2004 Ratusan warga miskin di Riau misalnya, mengalami penderitaan karena anggaran kesehatan dan pendidikan yang dialokasikan bagi mereka diakali oleh pejabat setempat. Lih. “Ang garan Daerah sering Diakali” dalam Kompas Senin, 10 November 2014 1 dan Bdk. N. M. Wildiers, An Introduction to Teilhard de Chardin Fontana Library Theology and Philosophy, 1975 Seorang ibu di China yang teguh memegang nilai-nilai tradisi China menceritakan hal ini dengan blak-blakan.. Beberapa hal yang ditekankannya antara lain, 1 anak harus menjadi juara 1 di sekolah, 2 anak harus pintar bermain musik; kalau perlu dengan berlatih amat keras setiap hari, bahkan di hari libur dan saat berlibur sekalipun, 3 alat musiknya harus yang sulit dimainkan, yaitu piano atau biola—tidak boleh yang lain. Lih. Amy Chua, Battle Hymn of the Tiger Mother New York The Penguin Press, 2011.7 Lih. Alan McGinnis, “Bakat-bakat Terpendam” dalam Brian Cavanaugh, Rangkaian Kisah Bermakna Jakata Obor, 1995 Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 307MELINTAS Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man London Collins, 1959 Wim van der Weiden, Seni Hidup Yog yakarta Kanisius, 1995 Richard Leonard, “Where the Hell is God?” dalam Thinking Faith The Online Journal of the British Jesuits F. Suryanto Hadi terj., dalam Rohani, No. 02, Tahun ke-59 Februari 2012 35. 11 Ibid., Bdk. H. Pidyarto, “Mengapa Orang Benar Menderita?” dalam Wacana Biblika Vol. 14, No. 2, April-Juni 2014 52-54. 13 Ketiga sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya bernama Elifas, Zofar, dan Bildad. Ketiganya menganggap penderitaan Ayub sebagai hukuman atas dosa-dosanya. Lih. perkataan Elifas dalam Kitab Ayub Bab 4, 15, 22; perkataan Zofar dalam Bab 11, 20; dan pernyataan Bildad dalam Bab 8, 18, dan 25. Bdk. Silogisme argumentasi ketiganya dalam Wim van der Weiden, op. cit., C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama Yogyakarta Kanisius, 1980 Dianne Berg ant dan Robert J. Karris Ed., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama Yogyakarta Kanisius, 2002 Collins mendasarkan gagasan ini dalam upacara yang dikenal sebagai “pelepasan kambing” dalam Kitab Imamat Bab 16. Dalam upacara itu, Harun mengakukan dosa-dosa orang Israel atas seekor kambing dan kemudian kambing itu dilepaskan ke padang gurun dengan membawa dosa-dosa mereka. Bdk. John J. Collins, Makabe I dan II Yogyakarta Kanisius, 1990 Bergant dan Karris Ed., op. cit., Ibid., Michael D. Guinan misalnya, menafsirkan Ayub 3615 yang berbunyi “dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka”, sebagai suatu aspek ujian iman yang berfungsi untuk mendidik dan mengajar manusia. Lih. ibid., Ibid., Bdk. ibid., 426-427, dalam subjudul “Misteri Penderitaan dan Hubungan dengan Allah”.23 Solidaritas Allah ini digambarkan secara lengkap oleh Paulus dalam Filipi 26-8, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri… merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Dimensi solidaritas inilah yang mendorong dan memungkinkan manusia berpartisipasi dalam penderitaan Kristus, atau dengan kata lain menyatukan penderitaan hidupnya dengan penderitaan Kardinal C. M. Martini mengidentifi kasi seluruh penderitaan Paulus ini sebagai yang serupa dengan penderitaan Yesus. Lih. Martini, Kesaksian Santo Paulus Yogyakarta Kanisius, 1989 Bdk. defi nisi Penebusan’ dalam Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi Yogyakarta Kanisius, 1996 G. W. H. Lampe, “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian Mc Neil Ed., Suffering and Martyrdom in the New Testament Cambridge Cambridge University Press, 1981 John Foxe, Foxes Book of Martyrs Jakarta Andi, 2001 Lih. defi nisi terminologi Pain’ oleh J. S. Feinberg dalam Walter A. Elwell Ed., Evangelical Dictionary of Theology Michigan Baker Book House, 1980 815. 30829 Lih. Morna D. Hooker, “Interchange and Suffering” dalam William Horbury and Brian Mc Neil Ed., op. cit., Elwell Ed., Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru Malang Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996 C. Groenen, Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus Ende Nusa Indah, 1983 St. Darmawijaya, Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus Yogyakarta Kanisius, 1991 Leonardo Boff, Passion of Christ, Passion of the World The Facts, Their Interpretation, And Their Meaning Yesterday and Today Maryknoll, NY Orbis Books, 1984 114. “Semua salib” di sini berarti semua penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa. Penderitaan dan kematian Yesus di salib merupakan suatu bentuk penebusan yang mampu meniadakan semua penderitaan yang harus ditanggung Bdk. Efesus 28-9, “Karena kasih karunia [kita] diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu jangan ada orang yang memegahkan diri.” 36 Edward Schillebeeckx, Church The Human Story of God New York Crossroad, 1990 Istilah “eklesiologi pembebasan” ini dimunculkan oleh R. Gibellini, Lih. Gibellini, The Liberation Theology Debate Maryknoll Orbis Books, 1987 Suryawasita, Teologi Pembebasan Gustavo Gutiérrez Yogyakarta Jendela, 2001 Lih. Gutiérrez, A Theology of Liberation History, Politics and Salvation Maryknoll, NY Orbis Books, 1973 Bdk. Avery Dulles, Model-model Gereja Ende Nusa Indah, 1990 W. Pannenberg, Theology and the Kingdom of God, 75. Dalam Dulles, ibid., Jurgen Moltmann, Theology of Hope London SCM Press, 1967 Lih. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan Yogyakarta Kanisius, 2004 Dikutip oleh Dulles, op. cit., Ibid., Hans Küng, Eternal Life London SCM Press, 1991 Inspirasi subjudul ini ialah Ensiklik pertama Paus Benediktus XVI, Deus Caritas Est 2005.48 Hans Küng, Does God Exist? London Collins, 1980 Bdk. Bdk. Karl Rahner, Theological Investigations XIX New York Crossroad, 1983 Henri J. M. Nouwen, The Road to Daybreak A Spiritual Journey New York Doubleday, 1988 Yohanes Paulus II Terj R. Hadiwikarta, Salvifi ci Doloris Jakarta Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2011 No. Kej. 314-19, Bil. 12 Yes. 535, 2Mak. Bdk. Yak. 12-4, 1Pet. 17-8, Rm. 5 Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani ... Injil yang adalah kekuatan Allah bagi setiap orang percaya agar setiap orang memperoleh keselamatan. Karena di dalamnya kebenaran Allah dinyatakan dari iman ke iman 12345678910. Injil adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua Gloria. ...... Sedangkan urutan ketiga terbanyak penyebab perceraian yakni meninggalkan salah satu pihak. 3 Bila dilihat lebih dekat lagi maka perselisihan yang tidak dapat diselesaikan adalah dipicu oleh media sosial, lalu ekonomi dan selanjutnya adanya pihak ketiga dalam pernikahan. Itu sebabnya angka perceraian semakin meningkat per tahunnya sekitar 15-20%. ...... diakses 24 Mei 2020. 3 Rofiq Hidayat, "Melihat Tren Perceraian dan Dominasi penyebabnya" Hukum Online, 18 Juni 2018, tersedia di diakses tanggal 24 Mei 2020. 4 Adisty Titania, "Hati-Hati, Media Sosial Picu Tingginya Angka Perceraian" TheAsianparent Indonesia, tersedia di Gambaran umum yang terjadi di Indonesia dapat juga menggambarkan permasalahan dalam keluarga Kristen di Indonesia, di mana masalah seks menempati urutan signifikan atas terjadinya konflik dan berujung perceraian di Indonesia. Ini menjadi suatu tantangan bagi gereja untuk memberikan suatu kajian solutif atas masalah seksualitas dalam pernikahan Kristen ... Nova RitongaThe pandemic of Covid-19 which occurred in Indonesia even in the whole world greatly influenced the church in doing mission. Many church mission activities and responsibility cannot be carried out properly, it also effects the spirituality and the life of the congregation the Christians. In this case the church needs to have the right respond over this current Covid-19 pandemic. This article aims to provide the insight, whether the Covid-19 pandemic is or as the obstacle for the church to carry out its mission or otherwise, as an opportunity. This article is written using descriptive qualitative methods with library research. This Covid-19 pandemic can be an obstacle and also can be an opportunity for the church to do mission work. It becomes an obstacle because during the Covid-19 pandemic, the church cannot conduct the worship service and other activities worship service, midweek worship, visitations, and other missionary activities freely, especially the churches in the city. This is also because the responsibility of the church in carrying out the Great Commission is understood limitedly in the form of face-to-face meetings both inside and outside the church. In other hand, the Covid-19 pandemic is an opportunity for the church to carry out the Great Commission mission because with the Covid-19 pandemic the church is bolder and openly preaches the Word of God. Now, many churches carry out online or live streaming worship services which can be watched by anyone, not just Christians cf. Isaiah 5511. The fear and despair that befell the community is also an opportunity for the church to reach out. Keywords Church, Pandemic Covid-19, Mission... Sulit dalam konteks Kristiani menelusuri asal penderitaan di muka bumi, dikarenakan penderitaan merupakan sesuatu yang tidak baik sehingga tidak mungkin berasal dari Allah yang Maha Baik dan yang telah menciptakan segala sesuatu dengan baik adanya. Penderitaan merupakan pergumulan atau problem iman, sebab ada orang yang bisa menerima penderitaan yang dialaminya sehingga menjadi semakin beriman dalam ujian penderitaan, di sisi lain ada orang yang sulit menerima penderitaannya sehingga menganggap Tuhan yang Maha kasih sebagai sebuah konsep tipuan maupun khayalan, dikarenakan dianggap tidak dapat menolong sehingga tidak perlu dipercayai Hidayat, 2016. Jikapenderitaan bukan berasal dari Allah, selanjutnya muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan dialami oleh orang-orang percaya dan apakah Tuhan senang melihat umat-Nya menderita. ...Djone Georges NicolasPenelitian ini bertujuan menganalisa tulisan Yeremia 2911 tentang penderitaan, dan mendapatkan relevansinya bagi orang percaya di tengah krisis pandemi Covid-19, dimana di tengah situasi krisis dan mencekam ini, kecemasan, kebimbangan, keputusasaan, depresi, hingga kematian menjadi realita dan ancaman yang dihadapi semua orang termasuk orang-orang percaya yang di dalamnya terdapat sejumlah pendeta yang telah menjadi korban hingga kehilangan nyawa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan analisa literatur, dengan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel digital, dan dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Hasil penelitiannya memberi saran seperti apa seharusnya orang percaya memaknai dan menyikapi fenomena penderitaan di tengah pandemi Covd-19 yang terus berlangsung Orang percaya harus tetap sepenuhnya mempercayai rancangan dan kesetiaan Allah dalam kondisi penderitaan sekalipun, sebab Allah berdaulat atas rencanaNya dan tetap menyadari bahwa tujuan rencana Allah adalah untuk keselamatan umat-Nya sehingga perlu dan harus memandang penderitaan dari sudut pandang Aryanto PramanaBelievers can never escape from suffering. Even in some passages of the Bible shows that believers are called to suffer for God’s sake. Wrong attitudes shown by believers when facing suffering often appear in the form of dissapointment, therefore it affects their relationships with God and others. This is due to a lack of proper understanding of suffering. This research will answer clearly about the theological understanding of suffering. The author also sees the importance of explaining the characteristics that a believer must possess especially regarding to suffering. These characteristics relate to attitudes, beliefs, and actions. The author also explores the attitude of Jesus Christ as an example in dealing with suffering. The results of this study provide solutions and enlightenment for believers in dealing with suffering. Orang percaya tidak luput dari penderitaan. Bahkan dalam beberapa bagian Alkitab menunjukkan bahwa orang percaya dipanggil untuk menderita karena Tuhan. Sikap-sikap yang salah yang ditunjukkan oleh orang percaya saat menghadapi penderitaan seringkali muncul dalam bentuk kekecewaan, sehingga berpengaruh pada relasi dengan Tuhan dan sesama. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman yang benar akan penderitaan. Penelitian ini akan menjawab secara jelas mengenai pengertian teologis tentang penderitaan. Penulis juga melihat pentingnya untuk menjelaskan karakteristik yang harus dimiliki oleh orang percaya khususnya berkaitan dengan penderitaan. Karakteristik ini berkaitan dengan sikap, kepercayaan dan tindakan. Penulis pun menggali sikap Yesus Kristus sebagai teladan dalam menghadapi penderitaan. Hasil penelitian ini memberikan solusi serta pencerahan bagi orang percaya dalam menyikapi penderitaan. Kosma ManurungThe period in which believers live today is a time marked by the ease with which information is obtained. Unfortunately not all information is good, correct, and useful because there is a lot of information circulating out there that is deliberately created to spread hatred, lies, moral depravity, and various other acts that are contrary to Christian faith. The purpose of this article's research is to illustrate the important role that parents in Christian families can play in overcoming the disinformation impact of the Pentecostal theological framework. In this study, researchers used a descriptive analysis method and literature review. The results of this study offer four practical steps that parents in Christian families can take in stemming disinformation in their families, namely by taking protective measures in the form of regulating and restricting children's access to the internet, providing assistance, opening discussion spaces, and being examples that can be followed. by the child. Fredy SimanjuntakThe Covid-19 pandemic has challenged churches to migrate to virtual spaces. This certainly affects the spirituality of the Church in double space. Through this article, we will examine 1 How can the church connect spirituality with technology without getting lost in the vortex of the void of the modern technology itself, 2 How can the church navigate this new landscape without losing focus on its God-given mission? This research is descriptive research, using a qualitative approach. This paper aims to frame a new paradigm for a balanced church in interpreting church spirituality in the vortex of technological progress. The results of this study indicate that the theological system in Christianity is a transformational conceptual framework that is always fresh, flexible, and balanced from various dimensions of life and context. A changing situation requires transformative perspectives and practices so that the church does not lose its spirituality and God's mission in the context of society, nation, and state. Keywords church; reflection; spirituality; technology; the Covid-19 pandemic AbstrakPandemi Covid-19 telah menantang gereja untuk bermigrasi ke ruang virtual. Hal ini tentu mempengaruhi spiritualitas Gereja dalam ruang ganda. Melalui artikel ini akan dikaji 1 Bagaimana gereja dapat menghubungkan spiritualitas dengan teknologi tanpa tersesat dalam pusaran kehampaan teknologi modern itu sendiri, 2 Bagaimana gereja dapat menavigasi lanskap baru ini tanpa kehi-langan fokus pada misi yang diberikan Tuhan? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tulisan ini bertujuan untuk membingkai paradigma baru bagi gereja yang seimbang dalam memaknai spiritualitas gereja dalam pusaran kemajuan teknologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem teologi dalam agama Kristen merupakan kerangka konseptual transformasional yang selalu segar, fleksibel dan seimbang dari berbagai di-mensi kehidupan dan konteks. Situasi yang berubah membutuhkan perspektif dan praktik trans-formatif agar gereja tidak kehilangan spiritualitas dan misi Tuhan dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kata kunci gereja; pandemi Covid-19; refleksi; spiritualitas; teknologUmi Wasilatul Firdausiyah Hardivizon HardivizonDiskursus dalam penelitian ini berupa ideologi bencana dalam perspektif Al-Qur’an, yang terfokus pada pembahasan kata fitnah dalam QS. Al-Anbiya [21]35. Tujuan dari penelitian ini berupa upaya untuk menemukan kredibilitas makna dan eksistensi kata fitnah dalam al-Qur'an dengan bingkai teologi bencana. Metode penelitian yang digunakan penulis menggunakan jenis penelitian Library Research, dengan pengumpulan data berupa dokumentasi dan analisis data berupa metode tematik karena tidak semua ayat yang digunakan oleh penulis. Ditambah dengan teori hermeneutika ma’na-cum-maghza, yang dilengkapi dengan triangulasi sumber sebagai keabsahan datanya. Hasil penelitian ini yang terbingkai dalam teologi bencana terhadap kata fitnah pada QS. Al-Anbiya [21]35 memiliki artian sebagai suatu bencana bagi setiap individu maupun kelompok dan eksistensi kata fitnah memiliki dua pembagian yakni keburukan dan kebaikan, serta suatu kematian dan ujian kehidupan merupakan keniscayaan yang pasti akan terjadi, hal tersebut juga sebagai cobaan dari ujian iman. Penafsiran QS. Al-Anbiya [21]35 dengan ma’na-cum-maghza, juga beimplikasi pada kajian tafsir kontemporer dan dapat mempengarui mindset masyarakat terhadap pemaknaan maupun pengucapan kata Krisna R. PakpahanA righteous person who experiences suffering. Making the idea of theodicy where God's sovereignty reigns over the world and also human history is inseparable, including suffering. The issue of suffering is an integral part of the life experience of individuals and communities. The subject of discussion in this study is how wisdom and suffering are understood by humans from the perspective of OT wisdom literature. The purpose of this study is to understand how God's theodicy in human suffering is related to Wisdom Literature. The research method is descriptive qualitative using literature review and Bible study. The findings of this study are that in the suffering that occurs, God continues to declare goodness to humans, suffering is under the sovereignty of God, and with the concept of theodicy, the problem of human suffering can be answered. God's involvement in human suffering shows God's compassionate attitude. Wisdom is a means of solving the problem of suffering, God is just in allowing suffering to occur. His omnipotence still exists in the midst of suffering, In suffering, there is the involvement of God who provides answers to human questions about Bernando Agung Hamonangan SitumorangThe essay presents a philosophical discussion on the question of God’s existence during the time of covid-19. Methodologically it is a qualitative study. The author develops his argument by studying some relevant literature on the topics. The literature study focuses on some concepts of western and easter philosophy regarding the root of human suffering. The result shows that the fact of suffering does not derive from God, but from the free will of human beings. In Buddhism suffering is thought of as dukkha that exists from the very beginning of human life. To be free from this dukkha, man must live the so-called liberating paths of truth. In the western concept, suffering has nothing to do with God, because God himself did not create or will the suffering. God only wants to be consistent with His creation, namely to give full freedom to the Covid-19 telah menantang gereja untuk bermigrasi ke ruang virtual. Hal ini tentu mempengaruhi spiritualitas gereja dalam ruang ganda. Melalui artikel ini akan dikaji 1 Bagaimana gereja dapat menghubungkan spiritualitas dengan teknologi tanpa tersesat dalam pusaran kehampaan teknologi modern itu sendiri, 2 Bagaimana gereja dapat menavigasi lanskap baru ini tanpa kehilangan fokus pada misi yang diberikan Tuhan? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tulisan ini bertujuan untuk membingkai paradigma baru bagi gereja menuju prinsip keseimbangan antara kehidupan material dan spiritualitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem teologi dalam agama Kristen merupakan kerangka konseptual transformasional yang selalu segar, fleksibel dan seimbang dari berbagai dimensi kehidupan dan konteks. Situasi yang berubah membutuhkan perspektif dan praktik transformatif agar gereja tidak kehilangan spiritualitas dan misi Tuhan dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan SitumorangStrategi penginjilan merupakan sebuah rencana yang wajib dilakukan sebelum bermisi, mengingat berbagai kasus penganiayaan yang menimpa beberapa penginjil maupun masyarakat Indonesia. Khususnya di daerah suku terabaikan seperti Papua, kini semakin marak terjadinya kasus penganiayaan. Hal ini menimbulkan berbagai luka fisik maupun psikis bagi sebagian kelompok dan yayasan penginjilan. Beberapa penginjil melakukan sebuah terobosan baru untuk meningkatkan mutu terhadap penginjilan yang ada di daerah terabaikan. Beberapa strategi telah disusun sebagai upaya untuk mencerminkan kepribadian Kristus. Melalui metode yang berorientasi pada studi pustaka, tulisan ini menunjukkan bahwa dengan adanya strategi penginjilan yang berorientasi pada faktor internal maupun eksternal, diharapkan mampu untuk menghadapi penganiayaan yang terjadi dalam bermisi. Oleh karena itu, strategi penginjilan harus direncanakan, dipahami serta digunakan sebagai upaya berjaga-jaga untuk menghadapi kasus penganiayaan yang CavanaughRangkaian KisahBermaknaCavanaugh, Brian. Rangkaian Kisah Bermakna. Jakarta Obor. Teologi. Yogyakarta KanisiusGerald O CollinsEdward G ' DanFarrugiaCollins, Gerald O' dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta Kanisius. ke dalam Misteri Yesus KristusSt DarmawijayaDarmawijaya, St. Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus. Yogyakarta Kanisius. Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta KanisiusNico S DisterDister, Nico S. Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta Kanisius. Gereja. Ende Nusa IndahAvery DullesDulles, Avery. Model-model Gereja. Ende Nusa Indah. Dictionary of TheologyWalter A ElwellElwell, Walter A. Ed.. Evangelical Dictionary of Theology. Michigan Baker Book House. 1990. Setiap manusia yang ingin naik kelevel yang lebih tinggi, tentu akan melewati ujian atau test. Begitu juga orang yang beriman, apabila keimanann bertambah Swt selalu memberikan ujian sesuai dengan kemampuan manusia tersebut. sebab orang yang beriman tidak hanya cukup pengakuan dibibir saja sebagai orang yang beriman sebelum Allah Swt memberikan ujian. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” QS. Ankabut 2–3 Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa salah satu konsekuensi pernyataan iman kita, adalah kita harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada kita, untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan kita dalam menyatakan iman, apakah iman kita itu betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan hati, atau sekedar ikut-ikutan serta tidak tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman kita didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan kemenangan dan tidak mau menghadapi kesulitan seperti yang digambarkan Allah Swt dalam surat Al-Ankabut ayat 10 Dan di antara manusia ada orang yang berkata “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti karena ia beriman kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata “Sesungguh-nya kami adalah besertamu.” Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia”? Maka marilah kita bersiap-siap untuk menghadapi ujian yang akan diberikan Allah kepada kita, dan bersabarlah kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan sindiran kepada kita, yang ingin masuk Surga tanpa melewati ujian yang berat. "Apakah kalian mengira akan masuk Surga sedangkan belum datang kepada kalian cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan keseng-saraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama-nya “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguh-nya pertolongan Allah itu amat dekat”. QS. Al-Baqarah 214. Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda. Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya, setidak-nya ada empat macam ujian yang telah dialami oleh para pendahulu kita Yang pertama Ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim As untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal, bagaimana seorang bapak harus menyembelih anaknya yang sangat dicintai, padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” Ash-Shaffat 106. Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim As yang benar-benar sudah tahan uji, sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itupun dijalankan. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berat itupun dijalankannya. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan puteranya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi kita, dan sangat perlu kita tauladani, karena sebagaimana kita rasakan dalam kehidupan kita, banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat bagi kita, dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh, Allah telah memerintahkan kepada para wanita Muslimah untuk mengenakan jilbab pakaian yang menutup seluruh aurat secara tegas untuk membedakan antara wanita Muslimah dan wanita musyrikah sebagaimana firmanNya Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mumin” “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-Ahzab, 59. Yang kedua Ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan seperti halnya yang terjadi pada Nabi Yusuf Alaihissalam yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar di Mesir yang mengajaknya berzina, dan kesempatan itu sudah sangat terbuka, ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan si perempuan itu telah mengunci seluruh pintu rumah. Namun Nabi Yusuf Alaihissalam membuktikan kualitas imannya, ia berhasil meloloskan diri dari godaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya ia mempunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya ia telah lulus dari ujian atas imannya. Sikap Nabi Yusuf As ini perlu kita ikuti, terutama oleh para pemuda Muslim di zaman sekarang, di saat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar, pelacuran merebak di mana-mana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah berbagai lapisan masyarakat, sampai-sampai anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinahan sudah seakan menjadi barang biasa bagi para pemuda, sehingga tak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan lagi. Di antara akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi, atau dibunuh beberapa saat setelah si bayi lahir. Keadaan seperti itu diperparah dengan semakin banyaknya media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita, juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf As perlu ditanamkan dalam dada para pemuda Muslim. Para pemuda Muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan menjerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam telah menjanjikan kepada siapa saja yang menolak ajakan untuk berbuat maksiat, ia akan diberi perlindungan di hari Kiamat nanti sebagaimana sabdanya سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ... متفق عليه. “Tujuh orang yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindunganNya, .. dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah…” HR. Al-Bukhari Muslim. Yang ketiga Ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya. Sebagai contoh, Nabi Ayyub Alaihissalam yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya, seluruh hartanya telah habis tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan untuk nafkah dirinya, seluruh kerabatnya meninggalkannya, tinggal ia dan isterinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya ia memelas sambil berdo’a kepada Allah “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayuub ketika ia menyeru Tuhan-nya;” Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 51. Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayyub As untuk menghantamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu, maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal. 52. Begitulah ujian Allah kepada NabiNya, masa delapan belas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayub As membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi Ayyub Alaihissalam ini. Yang keempat Ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang dialami oleh Rasulullah di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang Quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah Saw beserta Bani Abdul Muththolib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah Saw untuk dibunuh. Rasulullah Saw bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat. DR. Akram Dhiya Al-Umari, As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah, Juz 1 hal. 182. Baca Juga Bacaan Niat dan Tata Cara Mandi Wajib atau Junub Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang ujian yang diberikan Allah Swt untuk orang-orang yang beriman, semoga kita diberikan kesabaran dalam menghadapi ujian yang diberikan Allah Swt kepada kita Aamiin.

orang beriman selalu mendapat ujian allah apakah kamu pernah mengalami